Mati syahid adalah harapan setiap kita. Tapi, apakah ada mati syahid karena cinta?
Orang-orang yang tidak menjaga kemuliaan kalimat-kalimat Ilahi dan juga
tidak selalu ingat kepada Allah, para Nabi dan malaikat itu telah
keluar dari kelompok kita. Benar kiranya ketika Rasulullah shallalhhu
alaihi wa sallam bersabda,
"Jika kamu tidak merasa malu maka berbuatlah sesuka hatimu." (Hadits Syarif)
Selain itu juga telah terpisah dari kita orang yang bersyair: Hai
anakku, orang yang mati syahid adalah orang yang mati berkorban untuk
kekasih
Ada seseorang yang telah menyiarkan dan menyampaikan lantunan syair ini dari pertanyaan para pemuda tentang Hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu, "Barang siapa yang jatuh cinta, lalu dia menjaga kehormatan dirinya dan menyembunyikan cintanya hingga meninggal dunia, maka dia mati syahid."
Sampai dimana kebenaran hadits ini?
Dalam masalah ini, saya tidak menemukan keterangan kecuali yang berasal
dari Ibnu Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma'aad dan A1 Jawaabul Kaafii.
Ibnu Qayyim berpendapat:
"Hadits ini tidak benar berasal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam dan tidak mungkin perkataan itu dari dirinya. Sesungguhnya
kesyahidan itu menempati posisi yang sangat tinggi di sisi Allah
bersamaan dengan derajat orang-orang yang jujur. Dan untuk mencapai
derajat syahid itu harus ditopang dengan tindakan dan keadaan yang
menjadi syarat untuk mendapatkannya. Adapun cara untuk mendapatkannya itu ada dua: Umum dan khusus.
Cara yang khusus itu adalah kesyahidan dalam membela agama Allah. Adapun cara yang umum itu lima macam yang disebutkan di dalam hadits shahih, dan bukan hanya cinta saja. Bagaimanakah cinta yang menyekutukan di dalam kasih sayang dan mengosongkan dari Allah dan menguasai hati, jiwa, cinta untuk selain-Nya mendapat derajat kesyahidan? Ini mustahil, sebab kehancuran cinta
di dalam hati itu melebihi setiap kehancuran. Balikan hal itu bisa
menutupi ruh yang memabukkannya dan mencegahnya mengingat Allah,
mencintai-Nya, bersenang-senang dengan bermunajat kepada-Nya serta penyembahan hati selain kepada-Nya
Meskipun Sanad hadits ini seperti matahari, namun tetap saja salah dan meragukan. Dan dia tidak menghafal dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selain kata cinta yang terdapat di dalam haditsnya.
Sesungguhnya cinta itu ada yang halal dan ada yang haram, maka bagiamana dia menyangka bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menetapkan bahwa setiap orang yang jatuh cinta
itu dianggap sebagai oang yang syahid? Apakah kamu juga berpendapat
bahwa orang yang mencintai seorang perempuan, mencintai seorang
laki-laki (homoseks), mencintai prostitusi itu mendapat derajat
kesyahidan dengan rasa cintanya?
Dan kalau seandainya kamu merenungkan penyakit-penyakit
yang dinyatakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bagi yang
mengalaminya, maka kamu akan menemukannya dari penyakit-penyakit yang
tidak ada obatnya, seperti kehinaan, sakit perut, gila, terbakar,
tenggelam, kematian perempuan yang dibunuh oleh anaknya di dalam
perutnya. Sesungguhnya bencana-bencana ini dari Allah dan bukan buatan
manusia dan tidak ada obatnya.
Jika dia tidak menahan untuk membatalkan nisbat hadits ini kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ulama-ulama hadits di seluruh alam pasti mengikutinya dan mengikuti alasan-alasannya. Karena dia tidak menghafal dari satu imam di antara mereka saja,
dia menyaksikan hadits itu baginya dengan benar bahkan tidak dengan
hasan. Bagaimana mereka mengingkari atas Suwaid, dia adalah periwayat
hadits ini, dan menuduhnya dengan keagungan hadits ini. Dan mereka juga
mencoba menyerangnya disebabkan hadits ini.
Dan kami berkata, "Ya, barang siapa diuji mencintai seorang perempuan,
maka dirinya akan berjuang dan berperang melawan keinginannya dan
berpegang teguh dengan Tuhannya dan kembali kepada- Nya, tidak diragukan
lagi dirinya masuk dalam firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala,
"Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya). " (Qs. An-Naazi'aat (79): 40-41)
Sungguh ayat ini telah
menjelaskan kepada kamu secara jelas bahwa hadits ini bukan dari
perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan juga tidak
menyerupainya. Dan Allahlah yang Maha memberi petunjuk kepada jalan yang
lurus.