Bagaimanapun, "Nafs [cinta keduniaan] manusia yaitu dari alam gaib dan
malakut memiliki maqam-maqam dan tingkatan-tingkatan. Kadang-kadang,
secara umum, mereka mengklasifikasikannya ke dalam tujuh bagian". Di
kalangan para arif, hal itu dikenal dengan tujuh maqam, yaitu nafs
sendiri, 'aql, qalb, ruh, sirr, khafi, dan akhfa.
Yang dimaksud dengan nafs adalah cinta keduniaan. Inilah yang dilawan
dalam jihad seseorang, yaitu jihad besar, berdasarkan apa yang akan kami
jelaskan, insya Allah. Al quran mengungkapkannya dalam firman
Allah SWT: Dijadikan indah, pada manusia kecintaan pada apa apa yang
diingini, yaitu perempuan-perempuan, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang-binatang lemak, dan sawah ladang. [QS Ali ‘Imran [3]:14]
Nafs inilah yang diungkapkan dalam firman Allah SWT: Wahai Tuhan kami,
berilah kami kebaikan di dunia [QS al-Baqarah [2]: 200] . Sebab,
barangsiapa hidup dalam maqam nafs ini dan kecintaan pada keduniaan,
maka ia tidak akan mengatakan, "Wahai Tuhanku, berilah aku kebaikan di
dunia." Akan tetapi, ia akan meminta kepada Allah SWT agar diberi apa
pun, entah kebaikan atau keburukan, kebajikan atau kejahatan. Oleh
karena itu, manusia seperti ini dan tiadalah baginya bagian di akhirat.
[ibid]
Maqam 'aql adalah maqam orang yang berdoa, " Ya Tuhan kami, berilah kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari
siksa neraka.[ QS al-Baqarah [2]: 201] "
Maqam qalb adalah maqam ketiga. Ia dipandang sebagai maqam ihsan pertama
dan disebut juga maqam ka'anna. Rasulullah saw. ditanya, apa ihsan itu?
Beliau menjawab, "Engkau menyembah Allah seakan-akan (ka'anna) engkau
melihat-Nya. [Shahih al-Bukhari, Dar Ihya’ at-Turats, 1/20]"
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw. mengimami
orang-orang dalam shalat subuh. Kemudian, beliau melihat seorang pemuda
di dalam masjid dalam keadaan menggigil, menundukkan kepala, berkulit
pucat, berbadan kurus, dan bermata cekung. Rasulullah saw. bertanya,
"Bagaimana kabarmu pada pagi hari ini, wahai fulan?" Anak muda itu
menjawab, "Wahai Rasulullah, pagi ini aku dalam keadaan yakin."
Rasulullah saw. pun takjub mendengar jawaban ini. Beliau bertanya,
"Setiap keyakinan memiliki hakikat. Lalu apa hakikat keyakinanmu?" Orang
itu menjawab, "Wahai Rasulullah, keyakinanku itulah yang membuatku
takut, terjaga di malam hari, dan menahan haus. Itulah ganjaranku
sehingga aku menjauhkan diri dari keduniaan. Di situ, seakan-akan aku
memandang Arsy Tuhanku, penghisaban pada hari kebangkitan telah
dilakukan, dan makhluk makhluk di kumpulkkan sementara aku berada di
tengah mereka seakan akan aku melihat penghuni surga yang mendapat
kenikmatan, mereka saling mengenal di atas sofa. Seakan akan aku
melihat penghuni neraka dan di situ mereka disiksa sambil
berteriak-teriak."
Rasulullah saw. bersabda, "Inilah hamba yang hatinya diterangi Allah
dengan keimanan." Selanjutnya, beliau bersabda, "Pertahankanlah apa yang
telah engkau raih itu." Anak muda itu berkata, "Wahai Rasulullah,
berdoalah kepada Allah untukku agar aku dianugerahi kesyahidan bersama
Anda." Rasulullah saw. pun mendoakannya. Tidak lama kemudian, anak muda
itu ikut berperang bersama Nabi saw. sehingga ia gugur sebagai syahid
menyusul sembilan orang yang gugur terlebih dahulu, sehingga ia menjadi
orang kesepuluh yang mati syahid dalam pertempuran itu. [Ushul al-Kafi,
Dar al-Kutub al-Islamiyyah., Teheran, 2: 53/2]
Maqam keempat adalah maqam anna. engkau, kamu menyembah Allah, bukan
"seakan-akan (ka'anna) engkaumelihat-Nya" sebagai persamaan (tasybih),
melainkan "sesungguhnya engkau (annaka) melihat-Nya" sebagai pembenaran
(tahqiq).
Apabila seseorang berpindah ke maqam kelima maka ia sampai ke maqam fana’ (kesirnaan) dari diri di mana
ia tidak melihat "aku"nya dan tidak pula melihat dirinya. Tingkatan ini
adalah "Aku tidak melihat sesuatu melainkan aku melihat Allah sebelum,
bersama, dan sesudahnya. [Syarh Manzhumah, bagian al-hikmah, jil. ½,
hal. 263]"
Salah satu spesifikasi orang-orang yang sampai ke tingkatan ini adalah
mereka tidak berpura-pura di antara mereka karena mereka tidak melihat
selain "Dia" (huwa) dan Dia adalah "Esa" (wahid) di mana "aku" pada mereka telah sirna. "Aku" itulah yang menyeret pada pertentangan dan perselisihan. Kalau sekiranya [Alquran
itu] bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan yang
tajam di dalamnya [QS an-Nisa’ [4]: 82], Sesuatu yang di dalamnya
terdapat pertentangan bukan berasal dari sisi Allah SWT.
Kemudian, hamba yang dirinya telah fana berpindah ke tingkatan keenam yang di situ ia tidak memiliki penglihatan, pendengaran, tangan, dan kaki kemanusiaan. Seluruh
wahana dan alat ini merupakan wahana dan alat Ilahi. Inilah yang
ditunjukkan dalam hadis: "Hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan
ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintai Nya. Apabila Aku mencintainya
maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Aku
menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat, dan Aku menjadi
tangannya yang dengannya ia bertindak.[Riyadh ash-Shalihin, karya
an-Nawawi, Dar Ibn Zaydun, Beirut, 1997, 63/66.]" Begitu pula, dalam
hadis lain disebutkan, "Orang Mukmin memandang dengan cahaya Allah.[
'Uyun al-Akhbar ar-Ridha a.s., 2: 61/250.]" Cahaya Allah tidak
dihilangkan.
Namun, di dalam maqam keenam masih terdapat pengaruh "aku", walaupun
dalam keadaan yang lebih tinggi. Dengan berpindahnya hamba darinya, ia
berpindah ke maqam khatamiyyah, yaitu maqam wilayah mutlak, maqam "dan
hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah fardu hingga
Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya maka ia menjadi
pendengaran-Ku, (dan seterusnya). [Riyadh ash-Shalihin, karya an-Nawawi,
Dar Ibn Zaydun, Beirut, 1997, 63/66]"
Pada maqam ini, hamba naik dan menjadi pendengaran, lisan, dan mata
Allah. Ia keluar dari keterbatasan ke ketakterbatasan, karena ia naik
dari keberakhiran ke ketakberakhiran sehingga diriwayatkan dari Amirul
Mukminin a.s., "Aku adalah mata Allah dan Aku adalah lambung Allah.
[Bihar al-Anwar, jil. 39, hal. 347.]."
Terdapat klasifikasi nafs yang lain, yang ditunjukkan Imam Khomeini
r.a. dengan ucapannya "dan kadang-kadang menjadi empat bagian," yaitu
hiss, khayal, wahm, dan 'aql, atau insan madi, mitsali, 'aqli, dan
Ilahi. "Dan kadang-kadang menjadi tiga bagian," yaitu dengan mengingkari
wahm karena sedang dikaji, apakah ia merupakan kekuatan tersendiri atau
ia adalah 'aql yang gugur atau turun dari tingkatannya. "Dan
kadang-kadang menjadi dua bagian," yaitu bagian lahir dan bagian batin.
"Maqam-maqam dan tingkatan-tingkatan itu masing-masing memiliki (1) tentara Rahmaniyyah dan 'uqalaiyyah yang menarik nafs ke malakut tertinggi dan mengajaknya ke kebahagiaan, dan (2) tentara syaythaniyyah (setan) dan juhlaniyyah yang menarik
nafs menuju malakut terendah dan mengajaknya ke kesengsaraan. Selalu
terjadi pertentangan dan pertempuran di antara kedua pasukan ini,
sementara manusia merupakan arena peperangan kedua pasukan tersebut."
Hal itu disertai kemampuan untuk memiliki wahana-wahana yang dituntut
dan kebebasan berkehendak dan memilih untuk naik ke tingkatan-tingkatan
tertinggi atau turun ke tingkalan-tingkatan neraka Jahim. "Apabila
pasukan ar-Rahman menang, maka manusia itu termasuk orang-orang berhak
mendapatkan kebahagiaan dan rahmat, masuk ke jalan para malaikat, dan
dikumpulkan di dalam kelompok para nabi, para wali, dan orang-orang
salih. Sebaliknya, apabila tentara setan dan pasukan kebodohan yang
menang, maka manusia itu termasuk orang-orang yang berhak mendapatkan
kesengsaraan dan permukaan, dan dikumpulkan di dalam kelompok setan,
orang-orang kafir, dan orang-orang hina."
Kemudian, beliau r.a. berkata, "... Di mana lembaran ini bukan tempat
yang memadai untuk menjelaskanny a secara detail .Oleh karena itu, di
sini ditunjukkan secara global maqam-maqam nafs serta aspek-aspek
kebahagiaan dan kesengsaraannya.