Al-Bukhari rahimahullah berkata: Telah mengatakan kepada kami (haddatsana) al-Humaidi, dari Sufyan, dari Yahya bin Sa'id al- Anshari, ia mengatakan: Telah memberitakan kepadaku Muhammad bin Ibrahim at-Taimi bahwa ia mendengar 'Alqamah bin Waqqash al-Laitsi mengatakan: Aku mendengar Umar bin al-Khaththab berkata di atas mimbar: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى ٬ فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُوْلِهِ ٬ وَ مَن كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِامْرَةٌ يَنْكِحُهَا ٬ فَ هِجْرَتُهُ إِلَى مَاهَاجَرَ إِلَيْهِ٠
“Sesungguhnya segala amal itu tergantung niatnya dan sesungguhnya setiap orang mendapat kan apa yang diniatkannya. Maka barangsiapa yang hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya benar-benar kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya adalah karena dunia yang ingin diperolehnya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada tujuannya itu.”
Ada beberapa masalah penting dari hadits ini, di antaranya sebagai berikut:
Pertama: Hadits ini adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari. Apabila al-Bukhari meriwayatkannya dengan sanadnya maka Anda jangan bertanya lagi, karena al-Bukhari telah memberitahu Anda bahwa hadits itu shahih dengan sanad-nya.
Sebuah syair menuturkan:
Apabila Hadzami telah berkata, maka benarkanlah
Karena, perkataan yang benar adalah yang dikatakan oleh Hadzami
(Keterangan: Hadzami adalah nama seorang perempuan Arab Yaman di masa jahiliyah. Ia kemudian dijadikan perumpamaan dalam hal ketajaman pandangan seseorang dan kebenaran berita yang disampaikannya penj.)
Kedua: Hadits ini adalah hadits gharib. Hadits gharib adalah hadits yang padasalah satu tingkatannya hanya terdapat satu perawi saja; tidak ada orang lain dalam tingkatan ini, tidak penting bagi kita apakah pada tingkatan sebelumnya atau sesudahnya prawinya mutawatir (perawinya sangat banyak atau segolongan orang di mana menurut kebiasaan tidak mungkin mereka sepakat untuk berbuat dusta dalam meriwayatkannya), masyhur (perawinya tiga orang atau lebih, walaupun hanya dalam satu tingkatan, dan tidak mencapai derajat mutawatir), atau aziz (perawinya dua orang, walaupun hanya dalam satu tingkatan).
Ketiga: Mengapa al-Bukhari memulai kitabnya dengan hadits ini?
Al-Bukhari memulai dengan hadits ini karena setiap perbuatan tak akan diterima kecuali bila disertai dengan niat dan barangsiapa yang melakukan perbuatan tanpa niat maka Allah tak akan nerima perbuatannya Allal SWT berfirman : "Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia menyekutukan seorang pun dalam, beribadah kepada Tuhannya." (QS. al-Kahfi: 110)
Ia memulai dengan hadits tersebut seolah ingin mengatakan demikian kepada orang: Saya berniat menulis sebuah kitab untuk umat; saya ingin mempersembahkan sebuah karangan untuk manusia; saya ingin mempersembahkan hadiah dari kalbu saya dan dari buah hati saya, ilmu yang bermanfaat bagi manusia. Maka jika dengan perbuatan ini saya bermaksud mendapatkan keridhaan Allah, saya akan mendapatkan itu, dan jikadengannya saya bermaksud mendapatkan keuntungan dunia, maka saya pun akan mendapatkannya. Allah SWT berfirman, "Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Hud: 15-16)
Hadits, "Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya," ini merupakan inti hadits-hadits dalam Islam. Imam Syafi'i mengatakan, Seandainya aku mengarang sebuah kitab, niscaya aku tak memulai setiap bab kecuali dengan hadits, 'Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya.
Abdurrahman bin Mahdi, seorang muhaddits dan kritikus besar mengatakan,Wajib bagi orang yang mengarang sebuah kitab untuk memulainya dengan hadits, Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya.
Imam Ahmad bin Hanbal, imam Ahlussunnah Waljamaah mengatakan, Inti Islam terletak pada tiga hadits berikut: Pertama, hadits, Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya. Kedua, hadits 'Aisyah, 'Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak berasal dari kami, maka ia tertolak. Dan ketiga, hadits, 'Islam itu dibangun di atas lima dasar. Di dalam sebagian riwayat dikatakan, Atau hadits, Tinggalkanlah apa yang meragu kanmu kepada apa yang tidak meragukanmu, atau hadits an- Nu'man bin Basyir, Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas.
Abu Dawud, seorang faqih dan penyusun kitab Sunan Abi Dawud semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas mengatakan bahwa inti Islam terdiri atas beberapa hadits dan ia menyebutkan bahwa di antaranya adalah hadits, "Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya."
Hadits ini bagaikan raksasa dan tak ada yang dapat mendakinya kecuali orang-orang besar, seperti Imam al-Bukhari yang menjadikannya sebagai mukadimah bagi kitabnya. Karena, para ulama bertanya-tanya: Mengapa al-Bukhari tidak melakukan apa yang dilakukan oleh Muslim yang menyuguhkan sebuah mukadimah yang menjelaskan metode dan penulisan haditsnya?
Apa yang dilakukan oleh al-Bukhari dapat dimaklumi karena salah satu dari tiga alasan berikut:
Pertama: Mungkin ia telah menulis sebuah mukadimah tetapi kemudian mukadimah itu hilang. Ini pendapat yang sangat lemah.
Kedua: Mungkin pula ia mengambil firman Allah, "Hai orang- orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya." (QS. al-Hujurat: 1) Jadi, ia mendahulukan perkataan Allah, sehingga ia sendiri tidak memberikan mukadimah (pendahuluan)
Ketiga: Kemungkinan lain dan insya Allah ini yang benar ia merasa cukup dengan basmalah. Cukuplah bagi Anda, kalung itu sesuatu yang melingkari leher. Basmalah itu merupakan mukadimah, muhadharah, dan khotbah. Cukup bagi Anda menyebutkan basmalah di awal kitab.
Al-Bukhari mengatakan, "Haddatsana (telah mengatakan kepada kami)." Alangkah bagusnya kata haddatsanal Alangkah indahnya kata itu terasa di dalam hati! Sesungguhnya kata itu mengingatkan kita kepada hadits dan ahli hadits.
Imam Ahmad menuturkan, "Jika Anda melihat seseorang membenci ahli hadits maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq." Mengapa demikian? Karena, dengan begitu orang tersebut membenci sunnah, kemurnian, ilmu, iman, dan hasrat. Ketika membaca hadits tentang kelompok orang yang ditolong, Imam Ahmad mengatakan, "Jika mereka bukan ahli hadits, aku tak tahu siapa mereka."
Sedangkan Imam asy-Syafi'i mengatakan, "Apabila aku melihat seorang muhaddits dan melihat orang yang mengamalkan hadits, sungguh seolah-olah aku melihat Rasulullah."
Sebuah syair menuturkan:
Ahli hadits adalah ahli Nabi
Seandainya pun mereka tidak bersahabat dengan diri beliau, mereka bersahabat dengan nafas-nafasnya.
Jika hal ini telah diketahui, maka kita pun mengetahui bahwa kata haddatsana merupakan ukuran yang penting dalam syari'at. Apabila Anda melihat seorang penuntut ilmu sangat memperhatikan kata haddatsana di dalam majelis-majelis, masjid-masjid, dan pertemuan-pertemuan, maka ketahuilah bahwa ia senantiasa mendapatkan kebaikan yang merata, ganjaran yang melimpah, dan keutamaan yang besar.
Saudara-saudaraku! Al-Bukhari mengatakan: Telah mengatakan kepada kami al-Humaidi Abdullah bin az-Zubair. Al-Humaidi itu ada dua. Pertama, al-Humaidi yang menghimpunkan Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dan bukan al-Humaidi yang sedang kita bicarakan ini. Kedua, Abdullah bin az-Zubair al-Humaidi, seorang Syaikh al-Islam yang masanya 200 tahun lebih awal dibandingkan al-Humaidi yang menghimpunkan Shahih al-Bukhari dan ShahihMuslim. Abdullah adalah anak az-Zubair bin Abdullah bin az-Zubair. Sedangkan Sufyan dalam sanad hadits ada dua, yaitu Sufyan ats-Tsauri dan Sufyan bin 'Uyainah, keduanya merupakan bintang yang bercahaya dalam langit sunnah.
Apabila seorang perawi mengatakan, "Telah mengabarkan kepadaku," maka artinya: Guruku telah membacakannya kepadaku sendiri dan aku mendengarnya, atau: Aku telah membacanya pada guruku dan ia mendengarnya. Sedangkan apabila perawi mengatakan, "Telah mengabarkan kepada kami," maka artinya adalah:
Kami telah membaca pada guru kami di mana kami terdiri dari beberapa orang (sekelompok orang). Apabila ia mengatakan, "Aku telah mendengar," artinya ia mendengarnya langsung tanpa ada perantara.
Di dalam sanad itu Sufyan mengatakan, "Telah mengatakan kepada kami Yahya bin Sa'id." Yahya bin Sa'id ini ada dua. Tetapi di antara para ahli hadits ada yang mengatakan bahwa Yahya bin Sa'id ada tiga:
Yahya bin Sa'id al-Anshari, seorang tabi'in, lalu Yahya bin Sa'id al-Qaththan, salah seorang sahabat Imam Ahmad, dan Yahya bin Sa'id al-Mishri, seorang yang diperdebatkan oleh para ahli. Jadi, mereka ada tiga. Yahya bin Sa'id mengatakan: Telah mengatakan kepadaku Muhammad bin Ibrahim at-Taimi bahwa ia mendengar 'Alqamah bin Waqqash al-Laitsi mengatakan, "Aku mendengar Umar bin al- Khaththab." Anda semua tahu siapa 'Umar, tak perlu lagi dijelaskan siapa dirinya. Kehidupannya dan sejarahnya telah menjelaskan siapa dia sesungguhnya. Semoga Allah meridhainya dan membuatnya ridha.
Umar mengatakan, "Aku mendengar Rasulullah saw mengatakan, 'Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya.'"
Perkara terbesar dalam hadits ini adalah masalah keikhlasan dan mengharap keridhaan Allah dalam beramal.
Allah SWT berfirman: "Katakanlah, 'Hanya Allah saja Yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam [menjalankan] agamaku. " (QS. az-Zumar: 14)
Allah juga berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya." (QS. al-Bayyinah: 5) Dalam ayat lain Allah berfirman, "Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih." (QS. az-Zumar: 3)
Bersih di sini artinya bersih dari kotoran syirik dan bersih dari selain mengharapkan keridhaan Allah dalam melakukan suatu perbuatan.
Pada jilid ke delapan belas dari kitabnya, Ibn Taimiyah ketika menjelaskan hadits tersebut di atas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan niat adalah tujuan dan keinginan. Allah SWT berfirman, "Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Hud: 15-16)
Abu Hurairah mengatakan, "Rasulullah saw bersabda, 'Sesungguhnya orang pertama yang diputuskan perkaranya pada hari kiamat adalah seorang yang mati syahid. Lalu orang itu didatangkan. Kemudian diperkenalkan (diingatkan) kepadanya tentang nikmat-nikmat yang Allah telah berikan kepadanya, dan ia mengenalnya. Allah bertanya kepadanya, "Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?" Orang itu menjawab, "Aku berperang di jalan-Mu agar aku mati syahid." Allah mengatakan, "Engkau berdusta. Sesungguhnya engkau berperang agar dikatakan kepadamu bahwa engkau seorang pemberani dan itu telah dikatakan orang." Kemudian diperintahkan agar ia diseret di atas mukanya sampai dilemparkan ke dalam neraka. Kemudian yang berikutnya adalah seorang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur'an. Orang itu pun didatangkan. Kemudian diperkenalkan (diingatkan) kepadanya tentang nikmat-nikmat yang Allah berikan kepadanya, dan ia juga mengenalnya. Allah bertanya kepadanya, "Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?" Orang itu menjawab, "Aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya, aku juga membaca Al-Qur'an di jalan-Mu." Allah mengatakan, "Engkau berdusta. Sesungguhnya engkau mempelajari ilmu agar dikatakan kepadamu, 'Sesungguhnya engkau seorang yang alim,' dan engkau membaca Al-Qur'an agar dikatakan bahwa engkau seorang qari dan itu telah dikatakan. Kemudian diperintahkan agar ia diseret di atas mukanya sampai dilemparkan ke dalam neraka. Kemudian yang berikutnya lagi seorang yang diluaskan rezekinya oleh Allah dan diberikan bermacam-macam harta. Lalu orang itu didatangkan. Kemudian diperkenalkan kepadanya tentang nikmat-nikmat yang Allah berikan kepadanya, dan ia mengenalnya. Allah bertanya kepadanya, "Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?" Orang itu menjawab, "Tidaklah aku tinggalkan suatu jalan yang Engkau inginkan harta di nafkahkan pada jalan itu melainkan aku menginfakkannya pada jalan tersebut karena Mu "Allah mengatakan, "Engkau berdusta. Sesungguhnya engkau melakukan itu agar dikatakan, 'Ia seorang pemurah,' dan itu telah dikatakan. Kemudian diperintahkan agar ia diseret di atas mukanya sampai dilemparkan ke dalam neraka."
Di dalam kitab as-Sunan terdapat riwayat dengan sanad jayyid yang menyebutkan bahwa Nabi saw bersabda, "Barangsiapa yang menuntut suatu ilmu yang seharusnya dituntut untuk mengharapkan keridhaan Allah tetapi ia hanya mempelajarinya untuk mendapatkan harta benda dunia niscaya ia tak akan mencium bau surga, padahal bau surga dapat tercium dari jarak empat puluh tahun." Dalam hadits dari beliau juga dengan sanad hasan, beliau bersabda, "Barangsiapa yang mempelajari ilmu bukan karena Allah atau menginginkan selain Allah dengannya, maka hendaklah ia bersiap menempati tempatnya di neraka."
Allah SWT berfirman:"Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir." (QS. al-Isra': 18)
Allah juga berfirman, "Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan itu Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi." (QS. al-Isra': 20)
Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa Allah SWT mengatakan, "Aku adalah sekutu yang paling tidak butuh disekutu- kan; barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan di mana ia menyekutukan yang lain dengan-Ku, maka Aku akan meninggal-kannya dan sekutunya."
Dalam riwayat Ahmad disebutkan bahwa di hari kiamat Allah mengatakan kepada orang-orang yang berbuat riya, "Pergilah kalian kepada orang-orang yang kalian berbuat riya kepada mereka, lalu lihatlah apakah kalian mendapati ganjaran pada mereka."
Jadi, perkara ikhlas adalah perkara yang paling besar dalam Islam. Dalam memberikan pengertian tentang ikhlas, para ulama mengatakan bahwa ikhlas adalah Anda tidak menginginkan selain Allah dengan perbuatan Anda. Mereka juga mengatakan bahwa ikhlas berarti Anda tidak menginginkan pemberi balasan selain Allah. Menurut mereka, ikhlas adalah Anda melakukan suatu perbuatan di mana Anda tidak memperhatikan (tidak mempedulikan) pujian maupun celaan manusia. Pujian manusia tidak membuat Anda bertambah taat dan celaan mereka tidak membuat berkurang ketaatan Anda. Mereka juga mengatakan bahwa ikhlas adalah sesuatu yang tidak diketahui oleh orang sehingga dapat dirusak- nya, tidak pula diketahui oleh malaikat sehingga dapat ditulisnya (dicatatnya), melainkan hanya diketahui oleh Zat Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.