اَلأَكْوَانُ ظَاهِرُهَا غِرَّةٌٌ وَ
بَاطِنُهَا عِبْْرَةٌ فَالنَّفْْسُ تَنْظُرُُ اِلَى ظَاهِرِ غِرَّتِهَا
وَالْقَلْبُ يَنْظُرُُ اِلَى بَاطِنِ عِْبرَتِهَا٠
“Lahiriahnya alam ini adalah tipuan,dan batiniahnya adalah peringatan
(i’tibar), Hawa nafsu mengarahkan kepada tipuan lahiriah dan hati suci
mengarahkan kepada peringatan batiniah."
Memang alam lahir lebih cenderung kepada godaan hawa nafsu menggoda
manusia dan mengantarkan hamba-hamba Allah kepada kebinasaan. Sedangkan
alam batin selalu memberi arah kepada kebaikan, pendidikan dan peringatan dan mendekatkan hamba - hamba Allah kepada kemuliaan.
Kemahiran setan dan hawa nafsu mengarahkan manusia kepada tipuan lahir,
kadang-kadang membuat manusia terpesona oleh keindahan lahir itu.
Membuat hamba-hamba Allah melihat benda lahir sebagai sesuatu yang
sangat menarik dan sangat indah, membuat manusia ingin menikmati buah
dari keindahan lahir tersebut. Manusia begitu cenderung kepada barang
lahir, lalu menjadi orang yang tertipu dan bersimpuh di bawah Pandangan
lahiriah. Ia pun terbelenggu dan mabuk manisnya benda lahiriah dan tidak
terasa menjadi orang ysng lupa dan terhina.
Adapun manusia yang waspada dan mata hatinya dapat melihat dan mana
benda tipuan dan mana yang hak, tidak akan tertipu dan mengikuti godaan
setan dan hawa nafsu. Mata hati nuraninya mampu melihat dan membedakan
gerakan dan peringatan serta tanda dan isyarat lahiriah, mengetahui
sesuatu yang akan terjadi, maka ia pun menghindar dari situasi yang
sedang ada di hadapannya, Hiasan lahiriah itu memang sangat menakjubkan.
Orang mudah tertipu oleh penglihatan lahiriah dan mengira itulah penglihatan yang benar.
Orang yang memandang dunia ini dengan kaca mata batinnya adalah orang
yang memahami arah yang akan ditempuhnya. Ia tahu mana yang lebih
bermanfaat baginya dalam pandangan dunianya sehingga ia memilih dan
menyaring pandangannya terhadap dunia. Dunia adalah medan permainan
antara yang hak dan yang batil. Orang seperti ini tidak terlalu
mempercayai penglihatan lahiriah. Karena ia memahami tipuan lahir itu
sangat menyakitkan. Ia lebih percaya pada pandangan batinnya yang lebih
banyak memberi pertimbangan dan peringatan baginya sebelum bertindak.
Abu Talib Al Makky berkata:
"Orang yang menyaksikan keindahan dunia pada awal ia melihatnya dengan
segala sifat dan godaannya, maka ia tidak tertipu pada akhirnya
Barangsiapa dapat melihat hakikat dunia dengan mata batinnya, ia tidak
akan heran dengan penglihatan duniawi tersebut. Barangsiapa yang dibuka
penglihatannya tentang kehidupan dunia yang rusak, maka ia tidak
terkesima dengan godaan dunia tersebut."
Nabi Isa bin Maryam mengumpamakan dunia ini seperti Ulama Su’ (ulama
yang jelek), ibarat kehidupan dunia ini batinnya kotor seperti selokan
yang bau, sedangkan lahirnya nampak indah karena dilapisi dengan semen
yang rapat dan bagus.
Sifat manusia yang lebih membanggakan sesuatu yang sifatnya lahiriah
membuat hamba-hamba Allah terperosok kepada perbuai.ui yang hina,
sementara dan tidak berarti. Karena penglihatan mata kepala yang menipu itu telah menipu manusia dengan keindahannya. Syekh Ahmad Ataillah mengingatkan:
اِنْ اَرَدْتَ اَنْ يَكُوْنَ لَكَ عِزَّ لاَ يَفْنَى فَلاَ تَسْتَععِزَّنَّّ بِعِزٍ يَفْنَى٠
“Jika manusia ingin memperoleh keindahan dan kemuliaan yang sementara
dan cepat musnah, maka janganlah berbangga kepada kemuliaan yang
sementara dan mudah musnah tersebut."
Adapun kemuliaan yang tidak musnah itu, adalah kemuliaan berupa sandaran abadi, ialah kepada Allah swt Sedangkan berbangga dengan harta kekayaan,
kebangsaan, kedudukan dan yang semacam itu adalah kemuliaan yang palsu
dan bersifat sementara. Orang yang berbangga dengan barang sementara dan
mudah rusak, akan rusak pula bersama barang sementara itu.
Suatu hikayat mengisahkan tentang Harun Al Rasyid. Seseorang telah
datang kepada Harun Al Rasyid untuk menasihatinya. Akan tetapi ia sangat
marah kepada orang itu. Lalu ditangkaplah. Ia mengikat mang ini bersama
dengan keledainya yang dianggap nakal agar ia ditendang oleh keledai
itu. Akan tetapi keledai ini tiba-tiba menjadi jinak terhadap orang ini.
Harun Al Rasyid merubah hukumannya dengan memasukkan ke dalam suatu kamar, lalu menutup pintu kamar itu rapat-rapat dengan besi yang kokoh, agar ia mati di dalamnya.
Akan tetapi tiba-tiba orang tersebut sudah berada di luar kamar dan berada di kebun Istana Sultan, sedang pintu kamar
itu tetap dalam keadaan tertutup. Melihat hal ini, ia memanggil orang
tersebut ke dalam istananya, lalu bertanya, "Siapakah yang
mengeluarkanmu dari dalam kamar itu." Ia menjawab, "Dia yang memasukkan
aku ke dalam kebun ini." "Siapa yang memasukkan engkau ke dalam kebun?"
Jawab orang ini, "Dia yang mengeluarkan aku dari dalam kamar itu." Harun
Al Rasyid dengan peristiwa ini mengambil i'tibar, ialu memerintahkan
agar orang tersebut diarak keliling kota dengan penuh kehormatan. Ia
memaklumkan kepada masyarakat tentang peristiwa itu untuk dijadikan
i'tibar. Ia mengatakan bahwa Harun Al Rasyid tidak dapat menglniu orang
yang telah dimuliakan Allah.
Dalam Kitab Tanwir tertulis: "Barangsiapa yang mendapatkan, kemuliaan
Allah, maka abadilah kemuliaannya itu. Barangsiapa yang mendapatkan
kemuliaan selain dari Allah, maka kemuliaan seperti itu akan cepat
musnah. Karena tidak ada keabadian bagi orang yang merasa mulia karena
sesuatu yang fana." Allah swt berfirman : dan mengingat k.m manusia
dalam Al Qur'an surat An Nisa' ayat
139: "Mereka selalu mengharapkan akan apa yang mereka banggakan itu
suatu kemuliaan yang akan mereka dapat, maka sesungguhnya kemuliaan itu
hanyai ada pada Allah semata." Dalam ayat 10, surat Fatir ditegaskan lagi: "Siapa yang menginginkan kemuliaan, maka dari Allah jua semua kemuliaan itu."
Apabila kemuliaan itu hanya dengan mendekatkan diri kepada Allah dan
menjadi milik Allah semata, maka mengapa manusia menciut kemuliaan itu
dengan membanggakan benda duniawi? Mengapa manusia suka kepada benda
fana daripada sesuatu yang abadi? Memang duniawi itu mudah diperoleh, dan sangat gemerlapan di mata manusia.
Sedangkan kemuliaan di sisi Allah itu tidak kelihatan di mata kepala
manusia. Sedangkan para hamba Allah yang bermakrifat kepada-Nya melihat
kemuliaan dari dan di sisi-Nya itu adalah lebih mulia dan abadi. Manusia hanya melihat dan selalu nampak pada penglihatan
mereka gemerlapannya dunia, yang telah menutup mata hati merdu,
sehingga dalam pergaulan mereka tidak lagi melihat apa yang terdapat
dalam kemuliaan hati dan budi manusia.