Twitter

Klasifikasi Surga dan Neraka dalam Ilmu Sayr dan Suluk

Author Unknown - -
Home » , » Klasifikasi Surga dan Neraka dalam Ilmu Sayr dan Suluk

"Penjelasan tentang keadaan-keadaan neraka dan surga yang terdapal di dalam Alquran dan hadis-hadis para nabi dan para wali, pada umum nya, berkaitan dengan neraka dan surga perbuatan-perbuatan yang di siapkan bagi perbuatan-perbuatan salih dan perbuatan-perbuatan buruk. Keduanya, surga dan neraka, berkaitan dengan kerajaan lahir. Ju­ga, terdapat isyarat tersembunyi terhadap surga dan neraka akhlak, dan kepentingannya yang lebih besar. Kadang-kadang, juga ditunjukkan surga pertemuan dan neraka perpisahan." Inilah yang berkaitan de­ngan kerajaan batin. Sebab, surganya lebih indah daripada surga yang terindera dan, sebaliknya, nerakanya lebih pedih daripada neraka yang terindera. 
Di dalam firman Allah SWT: Neraka Allah yang dinyalakan, yang [membakar] sampai ke hati [QS al-Humazah [104]: 6-7], terdapat isyarat bahwa neraka ini mem­bakar hati terlebih dahulu, lalu membakar lahir. 
Bagaimanapun, surga dan neraka di dalam ilmu sayr dan suluk terba­gi ke dalam tiga kategori. 
Pertama, "surga dan neraka perbuatan," yang berkaitan dengan per­buatan-perbuatan manusia. 
Kedua, "surga dan neraka akhlak," yang dinamai surga dan neraka pembawaan (malakah) yang berkaitan dengan pembawaan-pembawaan manusia. 
Ketiga, "surga pertemuan dan neraka perpisahan," yaitu surga dan neraka adz-dzat yang berkaitan dengan diri manusia sendiri. 
Pembagian ini berdasarkan uraian yang telah kami tunjukkan sebe­lum ini, yaitu bahwa perbuatan manusia melewati tiga fase, yaitu fase al-hal (keadaan), fase malakah (pembawaan), dan fase ittihad (kesatuan). Berdasarkan fase-fase ini, terdapat kebahagiaan dengan keindahan dan kelezatannya atau kesengsaraan dengan kesedihan dan kepedihannya. 
Dikumpulkannya kita di alam akhirat tidaklah sama, walaupun kita sama-sama hidup di alam ini. Kadang-kadang, seseorang dari kita dikumpulkan ke surga perbuatan, orang kedua ke surga perbuatan dan malakah, orang ketiga ke surga perbuatan, malakah dan dzat. Dari sini, sebagian musafir menafsirkan firman Allah SWT: Dan bagi orang yang takut pada maqam Tuhannya ada dua surga,[QS ar-Rahman [55]: 46] bahwa kedua surga ini adalah surga perbuatan dan surga malakah. 
Tertulis kalimat: "orang yang naik ke surga adz-dzat" di atas kuburan Allamah ath-Thabathaba'i r.a., penulis tafsir al-Mizan. Hal itu merupa­kan isyarat dari penulisnya bahwa Allamah ath-Thabathaba'i adalah orang salih dan kesalihan itu sendiri, di samping kesalihan perbuatan dan malakah-nya. Oleh karena itu, ia pantas naik ke surga adz-dzat. 
Kemudian, seseorang harus memperhatikan bahwa neraka yang dimasuki manusia apabila berupa neraka perbuatan, maka ia dapat di­sucikan di alam barzakh, lalu ia memasuki surga pada Hari Kiamat. Hal itu tiada lain karena malakah (pembawaan) dan dzat (diri)-nya suci, tetapi ia telah mencampuradukkan perbuatan salih dan berbuatan bu­ruk. Dan orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka. Mereka mencam­puradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan yang buruk. Mudah-mu­dahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[ QS at-Tawbah [9]: 102]. Akibatnya, hal itu menjadi kekurangan dalam maqam perbuatan. Oleh karena itu, ia dapat disucikan dengan segera. 
Namun, apabila kekurangan, kenajisan, dan kotoran itu berada da­lam fase malakah, maka menghilangkan kekurangan dan menyucikan kenajisan itu lebih sulit. Adapun, jika kekurangan dan kenajisan itu berpindah ke fase adz-dzat, maka kadang-kadang tidak mungkin meng­hilangkan kekurangan dan menyucikan kenajisan itu. Dengan demikian, orang itu kekal di dalam neraka Jahanam. "Dan ini merupakan yang terpenting dari semua." 
Dari sini, Imam Ali a.s., dalam doa al-Kumayl, berkata, "Ya Ilahi, Junjunganku, Pelindungku, Tuhanku! Sekiranya aku dapat bersabar menanggung siksa-Mu, mana mungkin aku dapat bersabar berpisah dari-Mu? Dan seandainya aku dapat bersabar menahan panas api-Mu, mana mungkin aku bersabar tidak melihat kemulian-Mu? ..." 
Kalau kita asumsikan bahwa seseorang mampu menanggung neraka Jahanam, maka bagaimana ia dapat menanggung neraka perpisahan dari Sang Kekasih. Neraka perpisahan dari Allah berarti bahwa ia jauh dari-Nya, tidak di sisi Tuhan Yang Mahakuasa,[ QS al-Qamar [54]: 55] dan tidak diajak bicara dengan firman-Nya: Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.[QS al-Fajr [89]: 29-30] 
Imam al-Kazhim a.s. telah menunjukkan kalimat dari hakikat yang telah kita bicarakan sebelum ini dalam sebuah percakapan yang panjang dengan Hisyambin al-Hakam. Kami kutip sebagiannya sebagai berikut. 
"Wahai Hisyam, sesungguhnya Allah SWT memberikan kabar gem­bira kepada orang-orang berakal dan berpemahaman dalam Kitab-Nya. Dia SWT berfirman: Sebab itu, sampaikanlah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.[ QS az-Zumar [39]: 17-18" 
"Kemudian, Dia menasihati orang-orang berakal dan menumbuh­kan kecintaan mereka pada akhirat. Allah SWT berfirman: Dan tiadalah kehidupan dunia ini selain main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh-sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka, tidakkah kalian memahami?[ QS al-An’am [6]: 32]" 
"Wahai Hisyam, sesungguhnya akal ada bersama ilmu. Allah SWT berfirman: Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia. Dan tiadalah yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.[ QS al-‘Ankabut [29]: 43] " 
"Wahai Hisyam, Luqman pernah berkata kepada putranya, 'Berendah hatilah kepada al-Haqq maka engkau menjadi orang yang paling berakal. Orang pandai di sisi al-Haqq adalah kerdil. Wahai putraku, keduniaan adalah lautan yang dalam, yang banyak orang berilmu telah tenggelam ke dalamnya. Oleh karena itu, hendaklah bahteramu di sana adalah ketakwaan kepada Allah; muatannya adalah keimanan; layarnya adalah ketawakalan; nakhodanya adalah akal, penunjuk arahnya adalah ilmu, dan penumpangnya adalah kesabaran.'" 
"Wahai Hisyam, segala sesuatu memiliki bukti. Bukti akal adalah tafakur, dan bukti tafakur adalah diam. Segala sesuatu memiliki kenda­raan, dan kendaraan akal adalah kerendahhatian. Engkau sudah pantas disebut jahil kalau kamu melakukan sesuatu yang dilarang." 
"Wahai Hisyam, barangsiapa mengalahkan tiga hal atas tiga hal yang lain, , maka ia seakan – akan telah membantu menghancurkan akalnya. Barangsiapa menggelapkan cahaya tafakurnya dengan panjang angan angan, menghapus hikmah pilihannya dengan bicara melebihi keperluan, dan memadamkan cahaya pelajarannya dengan syahwat diri, maka sekan-akan ia telah membantu hawa nafsunya untuk menghancur­kan akalnya. Barangsiapa menghancurkan akalnya, maka rusaklah aga­ma dan dunianya." 
"Wahai Hisyam, orang-orang berakal meninggalkan keduniaan yang melebihi keperluannya, maka apalagi dengan dosa. Meninggalkan keduniaan adalah keutamaan dan meninggalkan perbuatan dosa adalah fardu." 
"Wahai Hisyam, barangsiapa menginginkan kaya tanpa harta, kete­nangan hati dari dengki, dan keselamatan di dalam agama, maka hen­daklah ia merendahkan hati kepada Allah 'Azza waJalla di dalam per­mohonannya agar Dia menyempurnakan akalnya. Barangsiapa berakal, maka ia merasa puas atau qanaah dengan sesuatu yang mencukupi [kebutuhan minimalnya]. Barangsiapa bersikap qanaah dengan apa yang mencukupinya, maka ia menjadi kaya. Barangsiapa tidak bersikap (ja­mah dengan apa yang mencukupinya maka ia tidak akan menjadi kaya untuk selama-lamanya."
"Wahai Hisyam, Amiral Mukminin a.s. pernah berkata, 'Tidak ada sesuatu yang lebih utama dalam menyembah Allah selain akal.[ Ushul al-Kafi, jil. 1, hal. 13, hadis no. 12, kitab al-Aql wa al-Jahl.]'

Artikel Terkait: