"Penjelasan tentang keadaan-keadaan neraka dan surga yang terdapal di dalam Alquran
dan hadis-hadis para nabi dan para wali, pada umum nya, berkaitan
dengan neraka dan surga perbuatan-perbuatan yang di siapkan bagi
perbuatan-perbuatan salih dan perbuatan-perbuatan buruk. Keduanya, surga
dan neraka, berkaitan dengan kerajaan lahir. Juga, terdapat isyarat
tersembunyi terhadap surga dan neraka akhlak, dan kepentingannya yang
lebih besar. Kadang-kadang, juga ditunjukkan surga pertemuan dan neraka
perpisahan." Inilah yang berkaitan dengan kerajaan batin.
Sebab, surganya lebih indah daripada surga yang terindera dan,
sebaliknya, nerakanya lebih pedih daripada neraka yang terindera.
Di dalam firman Allah SWT: Neraka
Allah yang dinyalakan, yang [membakar] sampai ke hati [QS al-Humazah
[104]: 6-7], terdapat isyarat bahwa neraka ini membakar hati terlebih
dahulu, lalu membakar lahir.
Bagaimanapun, surga dan neraka di dalam ilmu sayr dan suluk terbagi ke dalam tiga kategori.
Pertama, "surga dan neraka perbuatan," yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan manusia.
Kedua, "surga dan neraka akhlak," yang dinamai surga dan neraka
pembawaan (malakah) yang berkaitan dengan pembawaan-pembawaan manusia.
Ketiga, "surga pertemuan dan neraka perpisahan," yaitu surga dan neraka adz-dzat yang berkaitan dengan diri manusia sendiri.
Pembagian ini berdasarkan uraian yang telah kami tunjukkan sebelum ini, yaitu bahwa perbuatan manusia melewati tiga
fase, yaitu fase al-hal (keadaan), fase malakah (pembawaan), dan fase
ittihad (kesatuan). Berdasarkan fase-fase ini, terdapat kebahagiaan
dengan keindahan dan kelezatannya atau kesengsaraan dengan kesedihan dan
kepedihannya.
Dikumpulkannya kita di alam akhirat tidaklah sama, walaupun kita
sama-sama hidup di alam ini. Kadang-kadang, seseorang dari kita
dikumpulkan ke surga perbuatan, orang kedua ke surga perbuatan dan
malakah, orang ketiga ke surga perbuatan, malakah dan dzat. Dari sini,
sebagian musafir menafsirkan firman Allah SWT: Dan bagi orang yang
takut pada maqam Tuhannya ada dua surga,[QS ar-Rahman [55]: 46] bahwa
kedua surga ini adalah surga perbuatan dan surga malakah.
Tertulis kalimat: "orang yang naik ke surga adz-dzat" di atas kuburan Allamah ath-Thabathaba'i r.a., penulis tafsir
al-Mizan. Hal itu merupakan isyarat dari penulisnya bahwa Allamah
ath-Thabathaba'i adalah orang salih dan kesalihan itu sendiri, di
samping kesalihan perbuatan dan malakah-nya. Oleh karena itu, ia pantas
naik ke surga adz-dzat.
Kemudian, seseorang harus memperhatikan bahwa neraka yang dimasuki
manusia apabila berupa neraka perbuatan, maka ia dapat disucikan di alam barzakh, lalu ia memasuki surga pada Hari Kiamat.
Hal itu tiada lain karena malakah (pembawaan) dan dzat (diri)-nya suci,
tetapi ia telah mencampuradukkan perbuatan salih dan berbuatan buruk.
Dan orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka. Mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[ QS
at-Tawbah [9]: 102]. Akibatnya, hal itu menjadi kekurangan dalam maqam
perbuatan. Oleh karena itu, ia dapat disucikan dengan segera.
Namun, apabila kekurangan, kenajisan, dan kotoran itu berada dalam fase
malakah, maka menghilangkan kekurangan dan menyucikan kenajisan itu
lebih sulit. Adapun, jika kekurangan dan kenajisan itu berpindah ke fase
adz-dzat, maka kadang-kadang tidak mungkin menghilangkan kekurangan
dan menyucikan kenajisan itu. Dengan demikian, orang itu kekal di dalam neraka Jahanam. "Dan ini merupakan yang terpenting dari semua."
Dari sini, Imam Ali a.s., dalam
doa al-Kumayl, berkata, "Ya Ilahi, Junjunganku, Pelindungku, Tuhanku!
Sekiranya aku dapat bersabar menanggung siksa-Mu, mana mungkin aku dapat
bersabar berpisah dari-Mu? Dan seandainya aku dapat bersabar menahan
panas api-Mu, mana mungkin aku bersabar tidak melihat kemulian-Mu? ..."
Kalau kita asumsikan bahwa seseorang mampu menanggung neraka Jahanam,
maka bagaimana ia dapat menanggung neraka perpisahan dari Sang Kekasih.
Neraka perpisahan dari Allah berarti bahwa ia jauh dari-Nya, tidak di
sisi Tuhan Yang Mahakuasa,[ QS al-Qamar [54]: 55] dan tidak diajak
bicara dengan firman-Nya: Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.[QS al-Fajr [89]: 29-30]
Imam al-Kazhim a.s. telah
menunjukkan kalimat dari hakikat yang telah kita bicarakan sebelum ini
dalam sebuah percakapan yang panjang dengan Hisyambin al-Hakam. Kami
kutip sebagiannya sebagai berikut.
"Wahai Hisyam, sesungguhnya Allah SWT memberikan kabar gembira kepada
orang-orang berakal dan berpemahaman dalam Kitab-Nya. Dia SWT berfirman:
Sebab itu, sampaikanlah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka
itulah orang-orang yang mempunyai akal.[ QS az-Zumar [39]: 17-18"
"Kemudian, Dia menasihati orang-orang berakal dan menumbuhkan kecintaan
mereka pada akhirat. Allah SWT berfirman: Dan tiadalah kehidupan dunia
ini selain main-main dan senda
gurau belaka. Dan sungguh-sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi
orang-orang yang bertakwa. Maka, tidakkah kalian memahami?[ QS al-An’am
[6]: 32]"
"Wahai Hisyam, sesungguhnya akal ada bersama ilmu. Allah SWT berfirman:
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia. Dan tiadalah
yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.[ QS al-‘Ankabut [29]:
43] "
"Wahai Hisyam, Luqman pernah berkata kepada putranya, 'Berendah hatilah
kepada al-Haqq maka engkau menjadi orang yang paling berakal. Orang
pandai di sisi al-Haqq adalah kerdil. Wahai putraku, keduniaan
adalah lautan yang dalam, yang banyak orang berilmu telah tenggelam ke
dalamnya. Oleh karena itu, hendaklah bahteramu di sana adalah ketakwaan kepada Allah; muatannya adalah keimanan; layarnya adalah ketawakalan; nakhodanya adalah akal, penunjuk arahnya adalah ilmu, dan penumpangnya adalah kesabaran.'"
"Wahai Hisyam, segala sesuatu memiliki bukti. Bukti akal adalah tafakur,
dan bukti tafakur adalah diam. Segala sesuatu memiliki kendaraan, dan
kendaraan akal adalah kerendahhatian. Engkau sudah pantas disebut jahil
kalau kamu melakukan sesuatu yang dilarang."
"Wahai Hisyam, barangsiapa mengalahkan tiga hal atas tiga hal yang lain,
, maka ia seakan – akan telah membantu menghancurkan akalnya.
Barangsiapa menggelapkan cahaya tafakurnya dengan panjang angan angan,
menghapus hikmah pilihannya dengan bicara melebihi keperluan, dan memadamkan cahaya pelajarannya dengan syahwat
diri, maka sekan-akan ia telah membantu hawa nafsunya untuk
menghancurkan akalnya. Barangsiapa menghancurkan akalnya, maka rusaklah
agama dan dunianya."
"Wahai Hisyam, orang-orang berakal meninggalkan keduniaan yang melebihi
keperluannya, maka apalagi dengan dosa. Meninggalkan keduniaan adalah
keutamaan dan meninggalkan perbuatan dosa adalah fardu."
"Wahai Hisyam, barangsiapa menginginkan kaya tanpa harta, ketenangan
hati dari dengki, dan keselamatan di dalam agama, maka hendaklah ia
merendahkan hati kepada Allah 'Azza waJalla di dalam permohonannya agar
Dia menyempurnakan akalnya. Barangsiapa berakal, maka ia merasa puas
atau qanaah dengan sesuatu yang mencukupi [kebutuhan minimalnya].
Barangsiapa bersikap qanaah dengan apa yang mencukupinya, maka ia
menjadi kaya. Barangsiapa tidak bersikap (jamah dengan apa yang
mencukupinya maka ia tidak akan menjadi kaya untuk selama-lamanya."
"Wahai Hisyam, Amiral Mukminin a.s. pernah berkata, 'Tidak ada sesuatu
yang lebih utama dalam menyembah Allah selain akal.[ Ushul al-Kafi, jil.
1, hal. 13, hadis no. 12, kitab al-Aql wa al-Jahl.]'